Jumat, 15 Agustus 2008

HARI SELASA UNTUK KEKASIH KECILKU

Belum berapa lama aku sampai di fakultas, rasanya semangatku belum berkurang sedikitpun. Walaupun telah habis tiga perempat tenagaku karna harus menenteng laptop seberat dua kilogram, ditambah setengah kilo charger dan mouse yang aku persiapkan di dalam tas. Tiga sendok makanku habis untuk naik turun jembatan penyebrangan, tiga sendok lagi habis untuk jalan kaki dari pintu masuk sampai fakultas Adab yang jaraknya tidak kurang dari 300 m, dan jelas saja sisanya hanya beberapa sendok untuk nafasku yang tersengal-sengol.

Tidak sejumput dari semangatku menguap bersama deburan nafasku. Tidak sedikitpun! Hari ini adalah hari selasa, hari dimana aku selalu dibutuhkan teman-temanku sebagai moderator mata kuliah filsafat. Mata kuliah yang paling membuat teman-temanku senewen, tapi aku tidak. Semua pertanyaan atau bantahan teman-temanku tentang filsafat alam dengan mudah bisa kuatasi. “Ma, apa sih rahasianya kok pinter banget filsafatnya?” kata Faris ketika itu. Aku tersenyum mendengarnya, tapi aku tidak harus mengatakan bahwa aku adalah mahasiswi kedokteran UNAIR beberapa tahun yang lalu sebelum aku OD (out dewe) dan kuliah di IAIN ini. Masih ada pak Aziz di hari selasa, salah satu Dosen yang selalu memuji kehebatan dan ketepatan logikaku dalam berdiskusi. Hari selasa, hari yang paling membuatku ada.

Tapi hari selasa ini begitu berbeda, tidak ada satu dosenpun hadir di hari ini. Aku dan teman-temanku hanya bergerombol dan bergosip di lobbi fakultas Adab. Walaupun ruangan berukuran 10x8 meter persegi itu dipenuhi tawa para cowok yang duduk rapi di bangku panjang di depan TV canel Arabic, lalu diimbangi beberapa cewek berteriak histeris karena cerita seru mereka. Tapi aku tetap bisa mendengar Nisa, teman satu fakultasku mengatakan “eh, Ghani udah lama kan enggak masuk, katanya dia sakit lho teman-teman.” Nisa, cewek berkacamata dan berkulit kuning langsat ini adalah salah satu teman akrab Ghani.

“Iya tu, kabarnya dia masuk rumah sakit, lho Nis. Aduh kacian.... Ghani kan primadona kelas kita.....” komentar Luluk, teman satu kelas Ghani. Ghani Anak fakultas Adab jurusan SPI (sejarah peradaban Islam), punya mata yang ketika dia memandang cewek, seperti sedang melepaskan busur panah yang melesat tepat di lubuk hati. Sebagai salah satu anggota pecinta alam, tubuhnya tegap, lengannya terbentuk indah, mirip seperti barbel kecil saat dia sedang memakai kaos tanpa lengan. Seringnya memanjat dinding membuat dadanya terbentuk begitu sexy. Rambutnya terlihat agak panjang di bagian depan, dengan belahan samping kiri, rambut depannya mengikuti arah sisiran hingga di depan telinga kanannya, tapi bagian tengah atas dipotong pendek, disisr dengan gaya berdiri. Penampilannya juga selalu up to date, dia adalah satu-satunya mahasiswa fakultas Adab yang terlihat gaul dan macho.

“Ma, Mama kan biasanya sama Ghani tu.... enggak kangen apa? Tau nggak, kalau dia sakit?” sindiran Mukaromah yang sering melihatku jalan berdua denan Ghani. Begitulah teman-temanku, hampir semua memanggilku Mama. Mereka memang menganggapku sebagai ibunya angkatan kami, maklum aku adalah cewek tertua seangkatan. Tak perlu kutanggapi mulut Mukaromah yang selalu saja seperti semburan lumpur lapindo, sudah keluarnya lumpur, nggak mampu di sumbat lagi. Mending kalau keluarnya emas, bisa bikin Indonesia lebih banyak korban jiwa, soalnya orang Sidoarjo bakal saling bunuh buat rebutan emas.

Aku tau banyak tentang Ghani, bahkan aku tau dia dirawat di RSU Magetan. Dua hari yang lalu dia sudah pulang ke rumahnya yang di daerah Magetan juga. Kemarin aku kirim sms.
Manis, da baikan ta? Kpn balik ke Surabaya
Tapi sampai sorepun smsku tak mendapat balasan. Aku merasa hal itu tidak seperti biasanya, bahkan ketika dia masih berada di rumah sakit ia selalu membalas smsku, kadang memang agak lama. Aku menjadi gelisah akan keadaanya, apa yang tengah terjadi dengannya saat ini? Bagaimana keadaanya saat ini? Rasanya aku tidak sabar menunggu jawaban, aku ingin sesegera mungkin berangkat ke Magetan untuk menemuinya jika saja aku tau alamatnya. Aku benar-benar akan melakukannya, walaupun aku belum pernah ke luar kota sendirian sebelumnya. Apalagi Magetan yang aku tidak tau apa dan bagaimana tentang kota itu.

Air mataku rasany ingin keluar, tak ada seorangpun tau apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Perasaanku tidak menentu, tak ada hal lain yang mampu kupikirkan selain dia. Dan aku mencoba mengirim sms lagi padanya.
Kok g di blz sich, knp? Msih sakit ta? Pa da bsen ya blz smsQ?
Tiba-tiba hatiku menjadi adem, ayem, tentrem ketika dengan sekejap smsku mendapat balasan.
Maaf Mbak, ni ibunya Ghani. Ya Ghani da sembuh, tp tak suruh istrhat dlu di Semarang. Hpnya di tinggal di Magetan.
Ternyata itu ibunya, tapi kenapa mesti ke semarang, di salah satu rumahnya yang lain. Kalau dia sakit dan beristirahat di Semarang, kenapan Ibunya di Magetan? Ribuan pertanyaan tak wajar mencambuk-cambuk perasaanku. Tapi aku tidak tahu persis keadaan disana, kulempar jauh-jauh kegelisahanku, yang penting dia sudah sembuh.

Jam dinding tua berukuran 30x30 cm yang tergantung beberapa centi lebih tinggi daripada TV di lobbi Adab menunjukkan pukul 09.00 WIB. Sekarang hanya tinggal beberapa temanku yang masih terlihat duduk di bangku panjang. Sebagian besar dari mereka sudah meninggalkan fakultas.

Terik matahari begitu menyengat laksana bola api yang menjilat-jilat membuatku berfikir seribu kali untuk langsung pulang. Aku beristirahat di UKM (unit kegiatan Mahasiswa) teater Sabda, UKM milik fakultas Adab. Ghani sering mengajakku beristirahat, nonton TV atau menyuruhku ikut latihan teater bersamanya, sehingga membuatku akrab dengan anak Sabda. Aku sedang asyik main game dengan laptopku, ketika ponsel milik Mas Doyok memekik tajam. Setengah menit kemudian Mas Doyok membacakan isi sms itu.
Teman-teman, mohon do’anya... Ghani mau operasi atas sakit yang dideritanya.
Sms itu dari Laili, salah satu Mahasiswi SPI yang sekelas dengan Ghani.

Seketika jantungku seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi, beberapa saat jantungku seperti hampir meledak karena aliran darahku yang meluncur terlalu cepat layaknya pesawat tempur, tetapi beberapa detik kemudian menjadi sepih seperti tanpa detak. Dadaku sesak, kerongkonganku seperti menelan bakso bulat-bulat karna harus menahan ribuan butir air mata yang berdesak-desakan ingin keluar dari kelopak mataku. Tubuhku tiba-tiba menjadi panas kemudian menggigil. Dengan tangan gemetar segera kuketik sms
Maaf Bu, ni tmenya Ghani. Kata Tmn2 Ghani dioperasi? Operasi apa Bu? Di rmh skt apa?

Lenyap seluruh semangatku demi mendengar kabar itu, kenapa bukan aku yang pertama ia beritahu tentang hal itu? Kenapa, karna aku anak BSA (bahasa dan sastra Arab)! Tidak inginkah engkau mengatakan kepadaku keadaanmu wahai kekasihku?? Lalu kenapa kemarin ibunya mengatakan bahwa ia telah sembuh??
Iya mbak, Ghani mo operasi di Smrang. Do’akan aja mbak, smoga Ghani akan baik2 saja. Mbak temenya satu fakultas ya?

Operasi apa Bu? Di rmah skt apa Bu?
Kuulang lagi smsku karna ibunya belum menybutkan Ghani operasi apa dan dimana. Tetapi sampai satu hari berlalu smsku tak pernah mendapat balasan.

Seluruh rasa gelisah yang ada di bumi ini berbondong-bondong masuk ke dalam jiwaku, mengaduk-aduk emosiku, mempermainkan perasaanku. Jika saja waktu itu kau tidak berkata “Sungguh Ma, aku menyukaimu bahkan di hari pertama orientasi mahasiswa, walaupun kemudian aku tau kau empat tahun lebih tua dariku, tapi aku tak mampu membohongi perasaanku sendiri! Aku tergila-gila padamu. Aku sedang gila!”

“I don’t belive with you manis, kamu masih terlalu kecil untuk menyadari perasaan cintamu. Memangnya apa yang membuatmu menyukai wanita yang empat tahun lebih tua darimu?”

“Aku tidak perduli kalaupun kau tidak percaya padaku. Cuma hati, hatiku yang dapat menjawab pertanyaan itu. Aku hanya mengikuti kata hati.”

Aku langsung menempelkan telingaku tepat di dadanya, “Mana? Aku bahkan tidak mendengar hatimu mengatakan apa-apa padaku! Kau di bohongi oleh hatimu, buktinya hatimu tidak berani mengatakan langsung padaku.” Dia tersenyum mendengarku, ia mengusap-usap jilbabku, memegangi kepalaku erat-erat dan mendekatkannya lebih lama di dalam dadanya.

Jika saja dia tidak mengantarku ke pintu gerbang saat itu, saat tiba-tiba hujan turun rintik-rintik, dengan panik dia melepaskan tas dan jaketnya. Ia menyuruhku memakai jaketnya dan meletakkan tasnya di atas kepalaku, kemudian aku berkata “Aku tu bukan anak kecil, tau..! Aneh!”

“Ya, itulah keanehanku. Yang lebih aneh, aku mau menunggumu menjadi istriku, aku mau, walaupun kau sudah tua dan bau tanah sekalipun.”

“Dasar anak nakal, kurang ajar......!” teriakku histeris dan dia tertawa melihat tingkahku. Jika saja semua itu tidak pernah terjadi, maka tidak pernah akan peduli dengan apa yang tengah terjadi atas dirinya.

Aku ingin melihatnya, di Magetan atau di Semarang aku ingin menemuinya. Ditemani atau sendirian aku tidak peduli. Kuketik sms sekali lagi.
Maaf Bu, kalau diizinkan saya mau jenguk Ghani. Saya mohon alamantnya Bu!!

Berjam-jam dadaku berdebar-debar menunggu balasan, tapi sampai aku meneteskan air matapun, smsku tak mendapat balasan. Aduhai kekasih kecilku, kekuatan aneh apa yang engkau miliki, yang sewaktu-waktu sanggup menyemarakkan sekaligus menlemahkan jiwaku?

Ghani, lelaki kecil itu dengan mudah mencuri seluruh isi hatiku, menggeser keberadaan Firman, kekasih SMAku yang tidak mampu kulupakan sejak lima tahun yang lalu. Yang tidak mampu diusir oleh Doni seorang kapten Polisi yang berkepribadian menarik (punya rumah pribadi, mobil pribadi dan simpanan pribadi), yang tidak mampu digeser oleh Mas Zaenal, pengusaha muda pemilik toko perhiasan.

Kutelepon 108 untuk mencari tau nomer telepon rumah sakit umum Magetan dan Semarang, tapi teleponku tak pernah terhubung dengan operator rumah sakit. Aku tidak tau lagi harus bagaimana untuk sekedar tau keadaanya. Aku ingin menemuinya meskipun jauh. Aku hanya ingin mengusap rambutnya dan memandang matanya. Jika tidak boleh, maka aku hanya ingin memandang wajahnya. Kalaupun dia tertidur, aku hanya ingin mendengar hembusan nafasnya. Jika tidak diperkenankan masuk, maka biarkanlah aku sekedar melihatnya melalui cendela kaca ruangannya. Aku hanya ingin sekedar melihatnya!!

Aku hanya ingin menyampaikan selembar pesanku:
Kekasih kecilku, cinta telah mengambil jiwaku dan menyandingakannya dengan jiwamu. Aku tidak peduli berapa jarak yang memisahkan tubuh kita. Aku hanya memohon kepadamu, kuatkan cinta yang telah mengikat jiwa kita. Cukuplah bagi mataku untuk dapat melihat jernih matamu, dapat memandang manis senyummu, dan aku akan menjadikannya mata air kebahagiaan.

Wahai gemercik air yang jernih, engkau adalah saksi bagaimana cinta telah menyiksaku. Wahai penguasa langit, biarkan dia tetap ada dalam hidupku. Kuatkan jiwanya agar ia dapat menjaga cinta yang telah kami semaikan.




1 komentar:

Unknown mengatakan...

Casino Finder (Google Play) Reviews & Demos - Go
Check Casino Finder (Google Play). A 바카라게임사이트 look air jordan 18 retro men red from us at some of the best gambling air jordan 18 retro red suede to my site sites in the world. They great air jordan 18 retro offer a full game library, show air jordan 18 retro yellow